Jenuh aku kelebek tapi tak jumpa. Last sekali aku bukak kat
sini dan taip "Bayangan Allah". Yang keluar cuma yang ada kat bawah ni.
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,
Amma ba’du…
Pembahasan tentang asma’ was sifat memang menimbulkan polemik sejak dahulu.
Polemik ini muncul akibat kekeliruan sebagian pihak dalam memahaminya. Ada
golongan yang menolak asma’ was sifat sebagai bagian dari tauhid, dan mengatakan
bahwa pembagian tauhid menjadi 3 (rububiyyah, uluhiyyah, dan asma’ was sifat)
adalah bid’ah-nya orang-orang ‘wahhabi’… Mereka mengatakan bahwa pembagian
tersebut tidak ada dalilnya sama sekali. Kepada mereka kita pantas bertanya:
Dalil apakah yang kalian maksudkan? Kalau dalil berupa ayat atau hadits atau
ijma’ yang bunyinya: “Tauhid terbagi
menjadi tiga: uluhiyyah, rububiyyah dan asma’ was sifat”, ya MEMANG TIDAK ADA…
sebagaimana tidak adanya dalil (ayat, hadits, atau ijma’) yang mengatakan bahwa
Syarat sahnya shalat ada enam umpamanya, yaitu: Islam, mumayyiz, thaharah, masuk
waktu, niat, dan menghadap kiblat… atau syarat wajib zakat ada dua, yaitu nisab
dan haul… atau syarat haji ada sekian, dst… demikian pula rukun-rukunnya,
wajib-wajibnya, dan sunnah-sunnahnya yang banyak kita jumpai dalam kitab-kitab
fikih… Akan tetapi
anehnya mereka yg menolak pembagian tauhid menjadi tiga tidak pernah menolak
hal-hal yg tersebut di atas… padahal semuanya sama-sama tidak punya dalil yg
bunyinya: “Syarat sahnya shalat terbagi menjadi bla-bla-bla…” dst. ANEH… padahal
mereka semestinya konsekuen dong… kalau pembagian tauhid menjadi tiga mereka
tolak krn dianggap tidak ada dalilnya, maka pembagian yg berkenaan dgn syarat
ibadah, atau rukun2nya juga harus mereka tolak.
Untuk menjawab
syubhat ini, perlu kita ketahui bahwa apa yg dilakukan ulama Ahlussunnah (yg
mereka juluki Wahhabi tsb)
sebenarnya tidak berbeda dgn yg dilakukan para fuqoha’. Masing-masing
mendasarkan pembagiannya dengan apa yg disebut istiqraa-un nushuush, artinya
mengumpulkan dan menelaah nash-nash atau dalil-dalil yg ada tentang suatu
masalah, lalu mengambil kesimpulan berdasarkan dalil-dalil tersebut. Bila kita
teliti secara obyektif, ternyata Al Qur’an sendiri
membedakan antara tauhid rububiyyah, yg artinya mengimani Allah
sebagai pencipta, penguasa, dan pengatur alam semesta; dengan tauhid uluhiyyah
yang merupakan tuntutan agar manusia hanya mengesakan Allah dlm semua bentuk
ibadahnya… Buktinya, dalam banyak ayat Allah menyebutkan bhw pabila kaum
musyrikin ditanya: siapakah yg menciptakan langit dan bumi? Niscaya mereka
menjawab: Allah… (lihat: QS. Al Ankabut: 61;
Luqman: 25; Az Zumar: 38 dll)
pun demikian mereka tetap dianggap musyrik… dan tauhid mereka yg seperti itu
tidak bisa menyelamatkan mereka dari api neraka. Ini jelas menunjukkan bahwa
mentauhidkan Allah memiliki dua bagian yang harus dipenuhi, dan tidak cukup
sekedar salah satunya… yaitu mentauhidkan Allah dengan hal-hal yg berkaitan
dengan diri-Nya (yg tak lain adalah tauhid rububiyyah) dan mentauhidkan Allah
lewat amal ibadah kita (alias tauhid uluhiyyah)…
Lantas apa
dalilnya asma’ was sifat? Sebenarnya tauhid asma’ was sifat merupakan bagian
dari rububiyyah, karena ia berkaitan dengan sifat-sifat dan perbuatan Allah
‘azza wa jalla. Akan tetapi berhubung tidak semua orang yg mengimani rububiyyah
Allah juga mengimani asma’ was sifat-Nya, maka para ulama memisahkan masalah
asma’ was sifat dalam bagian tersendiri. Tentunya mereka punya dalil dlm masalah
ini, yaitu firman Allah dlm QS. Al Furqan: 60 yg
berbunyi:
{وَإِذَا قِيلَ
لَهُمُ اسْجُدُوا لِلرَّحْمَنِ قَالُوا وَمَا الرَّحْمَنُ أَنَسْجُدُ لِمَا
تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُورًا} [الفرقان: 60]
Jika dikatakan
kepada mereka (kaum musyrikin): “Sujudlah kepada Ar Rahman”, mereka mengatakan:
“Apa itu Ar Rahman? Apa kami hendak bersujud kepada apa yg kau perintahkan?” dan
perintah itu menjadikan mereka semakin lari dari iman.
Demikian pula yang
terjadi dlm perjanjian Hudaibiyyah tatkala Nabi menyuru Ali bin Abi Thalib agar
menulis: Bissmillahirrahmanirrahiem, Suhail bin Amr yg merupakan duta kaum
musyrikin menyela: “Ar Rahman? Demi Allah, aku tidak tahu apa itu… tapi tulis
saja: Bismikallaahumma, sebagaimana yg dahulu kamu tulis”. (HR. Bukhari no
2581).
Ini
menunjukkan bahwa kaum musyrikin yg mengimani rububiyyah Allah ternyata tidak
mengimani salah satu nama Allah, yaitu Ar Rahman, yg mengandung sifat kasih
sayang… Kesimpulannya, tauhid memiliki tiga unsur yg harus dipenuhi: Rububiyyah,
Uluhiyyah, dan asma’ was sifat. Bila salah satunya tidak dipenuhi, berarti
pelakunya masih tergolong ‘kafir’ dan belum ‘muwahhid’, entah itu kafir dalam
masalah rububiyyah, atau kafir dlm uluhiyyah, atau kafir dalam masalah asma’ was
sifat. Namun khusus yg terakhir, tidak semua yang keliru dalam menyikapi asma’
was sifat lantas kita katakan sebagai ‘orang kafir’, akan tetapi tergantung
bagaimana kekeliruannya. Jika ia menolak semua asma’ dan sifat Allah, berarti
dia tergolong Jahmiyyah yang menurut ijma’ ulama dianggap kafir, sebagaimana yg
dinukil oleh Imam
Bukhari dalam bagian awal dari kitab beliau yg berjudul: Khalqu Af’aalil
‘Ibaad. Namun bila mereka mengatakan bahwa Allah hanya memiliki nama tanpa
memiliki sifat, maka merekalah golongan Mu’tazilah yg dianggap sesat dan ahli
bid’ah oleh para ulama. Namun ada juga golongan yang ‘bingung’ dan
terombang-ambing di antara kedua golongan tadi, yaitu kaum Asy’ariyah. Di satu
sisi mereka membantah kesesatan golongan Jahmiyyah dan Mu’tazilah… namun di sisi
lain mereka mengikuti kedua golongan tadi. Mereka menetapkan sejumlah sifat bagi
Allah seperti: wujud, qidam, baqa’, mukhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu
binafsihi, ilmu, iradah, qudrah, dst… yang jumlahnya kadang sampai dua puluh,
dan mereka namakan sifat wajib bagi Allah… lalu ada pula sifat Ja-iz, dan ada
pula sifat Mustahil.
Perlu kita
tanyakan kepada mereka: “Apa dalil kalian atas pembagian tersebut? Adakah dalil
dari Al Qur’an atau Sunnah yg
mengatakan seperti itu?”. Tentunya tidak ada sama sekali… sebab itu merupakan
pembagian yg muncul dari pengaruh ilmu kalam (filsafat)… yang sama sekali tidak
pernah ada di masa para salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in).
Mereka menetapkan
sifat wujud (ada) bagi Allah, demikian pula sifat ilmu (mengetahui/berilmu),
qudrah (mampu), hayah (hidup), khalq (menciptakan), iradah (berkehendak), sami’
(mendengar), bashir (melihat), dan sejumlah sifat lainnya… akan tetapi menolak
sifat istiwa’ di atas Arsy, atau berada di atas ‘Arsy. Mereka juga menolak bahwa
Allah turun ke langit dunia pada setiap sepertiga malam terakhir… menolak sifat
al-’uluww, atau Allah berada di atas… menolak bahwa Allah memiliki wajah yg
hakiki yg bukan berarti keridhaan… menolak bahwa Allah memiliki dua tangan yang
hakiki… memiliki jari jemari… memiliki kaki yg hakiki… menolak bahwa Allah bisa
marah, atau tertawa, atau ridha yang hakiki…
Sedangkan
Ahlussunnah meyakini semua sifat tadi sebagai sifat yg hakiki bagi Allah, tanpa
menafikan, menyerupakan, menakwilkan, atau menanyakan bagaimana hakikatnya.
Ahlussunnah meyakini bahwa Allah memiliki wajah yg sesuai dengan kebesaran dan
keagungan diri-Nya, yang tidak serupa dengan wajah makhluknya, dan tidak
menakwilkan wajah sebagai keridhaan-Nya… sebab wajah adalah sifat yg berkaitan
dengan Dzat Allah, sedangkan keridhaan berkaitan dengan perbuatan Allah… dan
Ahlussunnah juga tidak menanyakan bagaimana hakikat wajah Allah
tersebut.
Kita patut bertanya
kepada mereka yg menolak sebagian sifat Allah dan menakwilkannya dengan dalih
bahwa konsekuensi sifat tersebut adalah tajsim (menjasmanikan Allah) atau
tasybih (menyerupakan Allah dgn makhluk-Nya); Kita tanyakan kepada mereka:
“Bukankah Allah itu ada, hidup, mendengar, melihat, dsb…?” Mereka pasti
mengiyakan… lalu kita katakan: “Kita pun ada, hidup, mendengar dan melihat”,
apakah berarti keberadaan, kehidupan, sifat mendengar dan melihat kita sama
dengan keberadaan, kehidupan, mendengar dan melihat-nya Allah?? Tentu tidak
bukan… nah, begitu pula sifat-sifat lainnya… kita harus sikapi dengan cara yang
sama.
Allah memiliki
wajah, kedua tangan, jari-jemari, kaki dan lain-lain sesuai yg Allah tetapkan
bagi Diri-Nya, atau yg ditetapkan oleh Rasul-Nya; dan sifat-sifat dzat tersebut
jelas hakiki alias benar-benar ada… sebagaimana manusia yg juga memiliki wajah,
kedua tangan, jari-jemari, kaki dll… namun jika kita menetapkan bahwa Allah
memiliki wajah, dll; tidak berarti wajah-Nya, tangan-Nya, dll seperti wajah,
tangan, dan anggota badan manusia… namun ia juga bukan berarti keridhaan,
kekuasaan, dll; karena manusia benar-benar memiliki wajah, dan wajahnya tidak
sama dengan keridhaan-nya… namun kita tidak boleh menanyakan bagaimana wajah,
tangan, dan sifat-sifat dzat Allah lainnya.
Dengan begitu, kita
bisa mengimani dan menyikapi semua masalah asma’ was sifat dengan benar. yaitu
dengan memperhatikan empat syarat tadi: tidak menafikan, tidak menyerupakan,
tidak menakwilkan dan tidak menanyakan bagaimana hakikatnya/caranya. Sedangkan
mereka yg menolak sebagian sifat dzat atau sifat perbuatan Allah tadi,
sebenarnya telah terjerumus terlebih dahulu dalam tasybih atau ta’thil
(menyerupakan Allah dgn makhluk-Nya atau membatalkan sifat tsb). Bagaimana bisa
begitu? Cobalah kita ikuti pola pikir mereka… ketika mereka mendengar bhw Allah
itu punya tangan, atau berada di atas ‘Arsy, atau turun ke langit dunia, atau
punya wajah, dst… segera terbayang dlm benak mereka: tangan manusia, wajah
manusia, atau seseorang yg duduk di atas singgasana, atau seseorang yg turun
dari suatu tempat, dan semisalnya… kemudian mereka segera mengingkari itu semua
karena takut menyerupakan Allah dgn makhluk-Nya. INI JELAS BAYANGAN YG KELIRU !!
sehingga kesimpulannya pun keliru. Siapa bilang tangan Allah seperti tangan
manusia? atau wajah Allah spt wajah manusia? atau Allah berada di atas ‘Arsy spt
orang duduk di atas singgasana? atau Allah turun ke langit dunia spt orang turun
dari suatu tempat? Itu khan bayangan Anda pribadi, sedangkan kami tidak
mengatakan spt itu…
Lantas bila mereka
mengatakan: “Oh bukan begitu, wajah Allah itu artinya keridhaan… sedangkan
tangan-Nya artinya kekuasaan… lalu istiwa’ di atas Arsy artinya istaula ‘alaih
(menguasai ‘Arsy tsb) dst” sebagaimana keyakinan mereka orang-orang Asy’ariyah.
Mereka lupa, bahwa dengan menakwilkan sifat-sifat tersebut sebenarnya mereka
terjerumus dalam ta’thil… alias membatalkan hakikat sifat tersebut. Kepada
mereka kita katakan: “Siapakah yg lebih tahu tentang Allah, Dia atau kalian?” …
“Kalaulah Allah telah mengatakan bahwa dirinya memiliki semua sifat dzat dan
perbuatan tadi, lantas mengapa kalian menafikannya dan menakwilkannya tanpa
dalil?”
Lalu kita bisa
membikin analogi sederhana berikut: “Kalian memiliki wajah, tangan, kaki, bisa
berbicara, bisa berjalan, berlari, dst”, lalu makhluk lain seperti monyet
umpamanya, juga memiliki wajah, tangan, kaki, bisa bicara, berjalan, berlari
dst… apakah semua sifat ini sama? tentu tidak bukan? Bahkan wajah, tangan, kaki,
cara bicara, cara berjalan, dst yg dimiliki si Anton beda dengan yang dimiliki
si Budi… Nah, bila sesama makhluk, bahkan sesama manusia saja berbeda-beda dlm
semua sifat tadi, dan sifat-sifat tersebut juga tidak kita takwilkan dengan
selainnya… maka bukankah perbedaan antara Khaliq dengan makhluk adalah lebih
besar lagi?
kalau kita tidak
menakwilkan bahwa wajah monyet adalah keridhaannya, atau tangan monyet berarti
kekuasaannya, dst… lantas mengapa kita harus menakwilkan sifat-sifat
Allah?
Terkadang, mereka
menolak sebagian sifat Allah karena menganggap hal tsb mustahil dan memiliki
konsekuensi yg tidak layak bagi Allah… contohnya sifat bahwa Allah senantiasa
turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Mereka menolak sifat ini
karena menurut ‘akal sakit’ mereka, sifat ini menimbulkan beberapa konsekuensi
yg tidak baik, yaitu:
1-Allah akan
senantiasa turun dan tidak naik-naik, karena sepertiga malam selalu bergeser
dari satu tempat ke tempat berikutnya.
2-Allah berada di
bawah alam semesta, alias diliputi oleh alam semesta… dan ini berarti ada yg
lebih besar dari Allah.
3-Kalau Allah bisa
turun, berarti dia berada di ‘atas’, alias dia diliputi oleh suatu arah dan
tempat, dan ini -menurut mereka- adalah sesuatu yg mustahil bagi
Allah.
Tentunya
asumsi-asumsi tersebut bertolak dari kesalahan besar yg mereka lakukan
sebelumnya… yaitu TASYBIH !! Ya… Mereka hendak lari dari tasybih namun justeru
terperangkap ke dalamnya… Mereka yg menolak sifat tersebut pada hakikatnya telah
menyerupakan Allah dgn manusia yg lemah yg tidak mungkin melakukan hal tersebut
kecuali dengan konsekuensi-konsekuensi tadi… Memang, manusia tidak bisa turun
kecuali konsekuensinya dia berada lebih rendah dari apa yg ada di atasnya… dst.
Tapi Siapa bilang Allah seperti itu? Itu khan asumsi mereka… Sekarang marilah
kita bikin sebuah perbandingan sederhana: Cobalah kita lihat salah satu makhluk
Allah yg bernama Matahari. Dia adalah satu dari sekian banyaknya makhluk Allah…
matahari yg jumlahnya hanya satu itu, ternyata mampu melakukan banyak hal yg
tidak masuk akal… Di saat yg sama, dia menimbulkan panas yg luar biasa di suatu
daerah, namun di daerah lain sebaliknya… dia terbit di suatu tempat, namun
tenggelam di tempat lain, dia menimbulkan siang di satu lokasi, namun malam di
lokasi lainnya… padahal mataharinya ya itu-itu juga dan gerakannya cuma searah…
Namun mengapa mereka tidak menolak kemampuan matahari tersebut? Jawabnya karena
mereka tidak menyerupakan matahari dengan diri mereka, sehingga bayangan yg
keliru tadi pun tidak terbetik dalam benak mereka. Kalaulah matahari saja mampu
melakukan hal-hal yg hebat tadi, maka apakah penciptanya tidak mampu (mustahil)
untuk turun tanpa diliputi oleh tempat tertentu, atau turun tanpa tidak naik
lagi, atau turun tanpa meninggalkan ‘Arsy-Nya… Mengapa Allah dianggap mustahil
melakukan itu semua? Bukankah kalian mengimani bahwa ALlah mendengar doa seluruh
hamba-Nya di mana pun, kapan pun, dengan bahasa apa pun mereka berdoa… kalian
meyakini bahwa Allah tidak ‘bingung’ dengan banyak dan beranekaragamnya doa tsb…
kalian juga meyakini bahwa Allah memberi rezeki semua makhluknya, baik manusia
yg sekian milyar jumlahnya, maupun jin, semua binatang yang ada termasuk
semut-semut di liangnya, ikan di lautan, burung di udara, dll… tanpa tersibukkan
oleh mereka sedikitpun dan tanpa terlalaikan dari urusan lainnya… Kalau kalian
mengimani semua kehebatan dan sifat Allah tadi, mengapa kalian tidak bisa
mengimani bahwa Allah turun ke langit dunia secara hakiki, sesuai dengan
kebesaran dan keagungan-Nya dan tidak sama dengan cara turun makhluk-Nya?
Demikian pula dengan sifat-sifat lainnya seperti tertawa, marah, dll…
Seandainya kalian
kembali kepada fitrah dan meninggalkan pola pikir filsafat, lalu menerapkan
keempat syarat tadi, niscaya semua sifat akan kalian imani dengan baik dan benar
tanpa menimbulkan masalah sedikitpun…
Semoga tulisan
singkat ini bermanfaat, dan penulis berlindung kepada ALlah dari setiap
kekeliruan dan salah tulis… semua kebenaran adalah milik-Nya, dan kesalahan
adalah dari penulis pribadi.
Wallahu a’lam
bisshawaab.
P/S: Zaman datok nenek dulu boleh ler mufti ngecong! Takper! Kita tunggu Harussani tunjuk kat mana dia jumpa ayat yang mengatakan Raja adalah bayangan Allah di bumi.